Hallo blogger selamat malam :) alhamdulillah bisa nulis lagi setelah seminggu penuh gue berjuang dengan ujian akhir semester yang cukup menguras tenaga. Well, gue tidak berlebihan kok tapi memang beneran menguras tenaga. Seriously gue sempet sakit waktu UAS berlangsung. Gue terkena serangan 'mulut berdarah' yang sudah gue ceritakan di postingan sebelumnya. Betapa waktu itu gue tersiksa banget dengan mengalirnya darah segar yang keluar dari bekas cabutan gigi gue. Gilak bener-bener pengalaman mencekam banget buat gue. Tiga hari berturut-turut mengeluarkan darah dari mulut itu rasanya melelahkan sekali. Dan sekarang gue menjadi sedikit trauma jika melihat darah. Hummm....alhamdulillahnya sekarang sudah seperti sediakala lagi. Tentu saja itu semua berkat kehendak Allah SWT, tuhan yang memberikan kesehatan bagi seluruh umatnya. Love you :)
And now, gue sudah mendapatkan inspirasi untuk postingan kali ini. Yap, gue tiba-tiba teringat kata-kata Pak Adang yang beberapa waktu lalu beliau bicarakan di depan kelas seusai pelajaran Seni Budaya. Awalnya kita dibuat bingung dengan pertanyaan beliau: "Bapak ingin tanya, apakah kalian sudah membahagiakan orang tua?" kita semua diam. Bingung mau menjawab apa. Gue sendiri bingung, kira-kira udah apa belum ya? haha. Melihat anak muridnya tidak ada yang menjawab, maka beliau pun merubah pertanyaanya menjadi: "Begini deh, apa yang sudah kalian berikan kepada orang tua?" OH NO! ini lebih complicated lagi pak. Ada yang tanya "Dari hal yang kecil gak apa-apa pak?" | "Ya, gpp. Apa saja. Hal apa saja boleh" | "Ya banyak pak. Banyak ye kan?..." | jawab kami berbarengan. Saling menatap teman satu sama lain. "Oke, apa itu?" tanya beliau lagi kepada kami semua. Ada yang jawab "Beres-beres rumah", ada yang jawab "Nabung", "belajar dengan giat", "bantuin orang tua", bahkan ada yang dengan polosnya bilang "kalau disuruh orang tua langsung laksanain pak" (hahaha). Pak Adang hanya manggut-manggut tanda mengerti. (walaupun gue yakin, yang dia inginkan bukanlah jawaban seperti itu)
Lalu beliau memberikan petuah kepada kami selama beberapa menit. Isinya tentang orang tua. Kalau menjelaskan secara detailnya, gue sudah lupa apa-apa saja yang di katakan beliau. Yang pasti kontennya menyentuh banget, ngena banget, mengharukan banget sampai-sampai kita semua terdiam dalam keheningan. Kita menyimak dengan sungguh-sungguh, mencoba mencerna satu persatu kalimat yang keluar dari Pak Adang. Ternyata banyak betulnya juga apa yang di katakan beliau. Kita sudah benar-benar terhanyut dalam pidato beliau sampai pada akhirnya beliau menyuruh kami untuk mengeluarkan pensil dan kertas selembar. Seketika, kami semua bereaksi kembali setelah cukup lama di hipnotis beliau.
Kami semua sibuk merobek kertas dan membaginya pada teman sebangku (kecuali anak yang pelit, gak pernah mau rugi hanya untuk merobek pertengahan saja). Pak Adang kemudian memberikan perintah: "Baik anak-anak, sekarang di depan kalian sudah ada kertas putih kosong. Nah, bapak ingin kalian menuliskan MINIMAL 10 impian-impian kalian yang ingin sekali terwujud. Boleh berupa cita-cita juga, terserah apa saja. Pokoknya yang ingin sekali kalian wujudkan. Ingat ya MINIMAL 10. Dan satu lagi....menulisnya dengan TANGAN KIRI!!" Sontak, kita semua kaget. Perintah terakhir beliau itulah yang menurut kami tidak wajar. Untuk apa menulis dengan tangan kiri? pasti sangat jelek tulisannya. Jadinya tidak beraturan kayak ceker ayam. Kalau Camai sih nggak masalah karena dia memang biasa nulis pake tangan kiri alias kidal. Namun beliau punya alasan dibalik itu semua, seperti ini: "Bapak ingin kalian merasakan bagaimana perjuangannya untuk mengejar impian. Bahkan untuk menuliskannya diatas kertas sekalipun kalian harus bersusah payah dahulu". Oke sekarang gue mengerti. Apa yang di maksud dengan 'susah payah' itu adalah ketika kami menulis dengan tangan kiri yang..semua orang tahu kecuali orang kidal bahwa tentu saja itu tidaklah mudah. Yap, sekarang gue mengerti. Then, i started to wrote all my goal.
Selama proses menulis itu, anak-anak pada riweuh alias ribut. Ada yang ngeluh pegel, ada yang ngeluh jelek banget tulisannya, ada yang minta diajarin camai supaya diberi tips bagaimana cara menulis dengan tangan kiri (yang satu ini menurut gue rada konyol, karena camai sendiri merasa tidak ada yang berbeda). Tapi momen ngeluh mengeluh itu tidak berlangsung lama karena tanpa terasa kami semua mulai serius dengan apa yang ditulis. Kami mulai konsentrasi. Meraba-raba impian apa saja yang mungkin bisa terwujudkan.
Hingga hampir setengah jam (waktu yang cukup lama hanya untuk menulis 10 hal), beberapa anak-anak ada yang sudah selesai tapi banyak juga yang belum. Gue termasuk yang belum karena ada banyak impian yang gue tuliskan lebih dari 10 (yeay, i'm a dreamer) itu sudah termasuk sama cita-cita gue dan satu diantaranya ada impian yang tidak penting yaitu keinginan untuk bertemu seseorang (huaaa). Diantara kami juga tidak ada yang saling membocorkan rahasia impian tersebut. Kami menguncinya rapat-rapat. Cukup diri sendiri dan Tuhan yang tahu.
Lalu setelah memastikan muridnya sudah selesai semua, beliau menyuruh kami untuk melipat kertas tersebut menjadi 4 bagian. Dan yang terakhir (sesi paling mengharukan), Pak Adang menyuruh kami untuk menutup mata | "Sekarang, tutup mata kalian. Pegang erat-erat kertas impian kalian tersebut. Pegang....pegang....pegang..." *hening*. |Nah, sekarang bapak kasih waktu 15 menit untuk berdoa. Ucapkanlah apa yang ingin kalian sampaikan agar impian tersebut terwujud. Dan ingat! jangan membuka mata kalian sebelum selesai". Kami semua menurut. Suasana kelas hening untuk beberapa saat. Sepi, sunyi, tentram, dan damai. Seperti tidak ada manusia di dalamnya. Semua temen-temen gue khusyuk berdoa. Entah ada berapa impian yang mereka tulis, gue tidak tahu. Yang jelas, pada hari itu Allah mendengar doa puluhan anak remaja kelas 3.
Gue masih terus berdoa. Mengucapkan dalam hati. Sampai pada akhirnya gue mendengar suara isak tangis Novi dari sebelah. Tangisannya pelan tapi gue bisa mendengarnya. Gue pribadi sejujurnya rada sedih juga. Terharu biru, tapi entah kenapa rasanya tidak ingin menangis saat itu juga. Yang gue rasakan hanyalah rasa sesak di dada. Seperti muntahan yang keluar begitu saja. Dan memang, gue nangisnya ketika sampai dirumah. Gue tumpahin semuanya.
Kemudian yang gue dengar adalah suara Pak Adang yang membangunkan kami. Beliau berkata bahwa ia juga pernah melakukannya ketika masih sekolah dulu. Dan dari kesemuanya yang ia tulis (gue lupa beliau menyebutkan berapa), ada 5 yang sudah terwujud sampai sekarang. wow! pantas saja beliau menyuruh kami seperti ini, ternyata beliau sudah lebih dulu mengalaminya. Pak Adang lalu memberikan upeti untuk tidak menghilangkan kertas tersebut. Kami harus menjaganya dengan baik dan jangan sampai hilang. Jika suatu hari nanti ketika kami sudah dewasa membuka catatan itu lagi, kami pasti tersenyum dan teringat akan kenangan seperti ini. Berkata: "Hey! ini kan waktu gue masih SMK disuruh guru kesenian. Ya ampuun!! OMG masih ada aja".
Di akhir kata, yang masih terngiang di benak gue, Pak Adang bilang "Kalian akan menghadapi hidup baru setelah lulus nanti. Kalian akan menghadapi dunia baru dimana orang-orang yang akan kalian temui sangat berbeda karakternya dari teman-teman yang sekarang. Setelah lulus, kuliah, bekerja, menikah, dan punya anak, kalian pasti akan merasa rindu untuk memakai seragam lagi. Kalian akan memandangi seragam putih abu yang digantung lalu tiba-tiba berputar kembali kenangan-kenangan masa-masa seperti ini. Maka dari itulah mulai sekarang janganlah kalian mempermainkan waktu, atau waktu yang akan mempermainkan kalian. Nikmati selagi ada"
That's my fave quotes from him. How i'll missing that moment with them. And now, i'll never forget what they did for me. Thank's for my art teacher, Mr. Adang :) you gave me a lot of lesson on that day. Thanks for your experience, i'm so appreciated it.
No comments:
Post a Comment